Fenomena Kesepian Warga Korea Selatan

POTRET BERITA — Sebagaimana diketahui, warga Korea Selatan setiap tahun dilaporkan meninggal diam-diam dalam keadaan sendirian.

Sebagian besar dari mereka adalah pria paruh baya berusia sekitar 40-45 tahun sampai 60-65 tahun.

Fenomena tersebut dikenal sebagai “pandemi kesepian” atau godoksa dalam bahasa Korea.

Melansir dari CNN, dalam lima tahun kedepan, pemerintah Kota Seoul sampai mengeluarkan dana sebesar 451 miliar won atau setara Rp5,1 triliun untuk “menciptakan kota di mana tidak ada seorang pun yang merasa kesepian”.

Mengapa banyak warga Korea Selatan yang kesepian?

Sebenarnya, selama 10 tahun terakhir, masalah kesepian sudah jadi perhatian nasional.

Beragam masalah terkait isolasi diri di Korea Selatan semakin meningkat, yang mana mirip dengan yang terjadi di Jepang yang dikenal sebagai “hikikomori”.

Sebagian anak-anak muda banyak menarik diri dari dunia nyata dan memilih menghabiskan hari-hari mereka di rumah. Aktivitas tersebut sering  terjadi sampai berbulan-bulan.

Menurut catatan pemerintah Korsel, sebanyak 244 ribu kasus isolasi diri terjadi pada tahun 2022.

Profesor psikologi di Korsel, An, menyebut orang-orang Korsel kesepian sebab mereka merasa tidak cukup layak atau tidak mempunyai tujuan.

Sentimen ini mirip dengan yang sudah diutarakan l para ahli sebelumnya, di mana merekw menyebut generasi Millenial dan generasi Z terlalu kritis terhadap diri sendiri dan sering diliputi perasaan takut akan kegagalan.

Berdasarkan studi pada Juni menemukan bahwa “epidemi” kesepian memperlihatkan nuansa dalam budaya Korea yang mana orang-orang mendefinisikan diri mereka berdasarkan nilai mereka dalam hubungannya dengan orang lain.

Orang-orang akan merasakan kesepian yang mendalam atau rasa gagal apabila mereka merasa tidak bisa berdampak secara signifikan pada orang lain atau masyarakat.

“[Orang Korea Selatan mungkin merasa kesepian] ketika mereka membandingkan diri mereka dengan orang lain dan mempertanyakan apakah mereka berguna, cukup berkontribusi pada masyarakat, atau justru tertinggal jauh di belakang,” jelas An, seperti dikutip dari CNN.

Faktor lain selain soal nilai diri dengan masyarakat adalah meningkatnya jumlah jomblo, penurunan interaksi sosial di luar pekerjaan dan keluarga, dominasi media sosial, serta budaya kompetitif Korsel yang berorientasi pada prestasi.

“Ketika mereka semua mengejar nilai-nilai yang sama secara berlebihan, kita akhirnya kehilangan jati diri kita sendiri,” ujar An.

Direktur Utama organisasi sipil Seed:s, Lee Eunae, mengatakan penyebab warga Korsel merasa kesepian di antaranya karena beban ekspektasi orang tua yang menginginkan anak-anak mereka kaya raya dan mendapat status sosial.

“Orang tua memberikan segalanya kepada anak-anak mereka untuk memastikan mereka mendapat kesempatan, dan mereka juga berharap banyak dari anak-anak mereka,” kata Lee kepada NPR.

Dari laporan Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korsel, jumlah kematian dalam keadaan kesepian di Korsel meningkat hingga menembus angka 3.661 pada tahun lalu. Angka ini naik dari 3.559 pada 2022 dan dari 3.378 pada 2021.

Pemerintah Kota Seoul pun kemudian membuat program konseling gratis untuk warganya supaya mereka tidak merasa kesepian. Layanan konseling ini terbuka bagi warga Seoul selama 7 kali 24 jam.

Selain itu, layanan konseling ini bisa digunakan warga Seoul untuk berkonsultasi terkait masalah pribadi dan masalah-masalah lain yang berpotensi membuat stres dan merasa kesepian.

Pemerintah Kota Seoul juga memiliki rencana untuk membuka ruang terbuka hijau yang lebih luas dan membuat program yang mendorong warganya pergi ke luar rumah supaya mereka tidak mengalami kesepian.

Agar tidak kesepian, Seoul juga akan mendorong warganya untuk berkebun, berolahraga, membaca, dan melakukan interaksi dengan orang lain.